Mengenal si Angsa Hitam: Saat Kita Tidak Tahu yang Kita Tidak Tahu
(Review Buku “The Black Swan” — Nassim Nicholas Taleb)
Oleh: Ratnasari Wahono
“The problem with experts is that they do not know what they do not know.”
-Nicholas Nassim Taleb, Penulis “The Black Swan: The Impact of the Highly Improbable”.
Metafora Angsa Putih dan Angsa Hitam
Dunia Baru yang merupakan sebuah konsep yang menggambarkan “peta wilayah dunia” setelah ditemukannya benua Amerika oleh Christopher Colombus yang kemudian diikuti dengan penemuan wilayah Oceania dan Antartika, termasuk benua Australia. Oleh sebab itu jika kita menilik penggambaran wilayah yang diketahui sebelum sampai ke Dunia Baru, dahulu pembagian peta dunia hanya terbatas pada Kawasan Eropa, Asia dan Afrika atau yang secara kolektif dikenal dengan benua Afro-Eurasia yang kita kenal sebagai Dunia Lama.
Dalam menggambarkan konsep Dunia Lama, pada saat itu menjadi wajar jika hal-hal yang diketahui di Dunia Lama hanya terbatas juga pada jangkauan wilayah yang sudah diakses pada zamannya, termasuk salah satunya mengenai gambaran soal “angsa”. Pada saat itu orang-orang menggambarkan bahwa “angsa itu berwarna putih dan memang hanya berwarna putih” (white swan) sampai akhirnya setelah memasuki Dunia Baru, tepatnya di benua Australia mereka menemukan bahwa ternyata terdapat “angsa berwarna hitam” (black swan).
Gambaran singkat di atas, setidaknya berhasil menggambarkan bahwa “sepintar-pintarnya” atau “sepanjang-panjangnya” pengetahuan yang manusia ketahui rupanya terdapat hal yang mereka juga tidak tahu, namun yang menjadi masalah adalah bagaimana mereka tahu kalau mereka tidak tahu, jika mereka tidak mengetahuinya? Dalam skala lebih luas kemudian kisah soal penemuan angsa berwarna hitam tadi menjadi sebuah metafora yang dikemas secara apik oleh Taleb dalam bukunya berjudul “The Black Swan: The Impact of the Highly Improbable”.
Dalam bukunya tersebut, Taleb semacam ingin menyadarkan orang tentang kemungkinan fenomena black swan yang pernah terjadi pada keterbatasan pengetahuan manusia saat itu tentang angsa, akan terjadi dalam bentuk fenomena lain. Lantas bagaimana menggambarkan black swan tersebut dalam peristiwa yang lain? Ringkasnya, Taleb mengartikan black swan sebagai peristiwa langka dan tidak terduga, namun bukan dalam pemahaman bagaimana manusia menjadi seorang “ahli nujum” atau “juru ramal”.
Taleb memberikan gambaran, setidak-tidaknya terdapat 3 (tiga) ciri-ciri black swan dalam kehidupan setiap insan manusia, yaitu:
- Outliers, yaitu dimana ada kondisi yang di luar prediksi sehingga persitiwa itu pasti lain dari yang lain, sesuatu di luar dunia dari yang kita harapkan, sebab tak ada sesuatu apapun pada masa lampau yang dapat secara meyakinkan dapat menunjukkan kemungkinan terjadinya peristiwa yang bersangkutan;
- Dampak yang ekstrim bagi kehidupan manusia; dan
- Tidak dapat dijelaskan sebelum terjadi, dimana menurut Taleb, kendati lain daripada yang lain, sifat dasar manusia cenderung mendorongnya membuat penjelasan setelah terjadinya suatu peristiwa.
Dari penggambaran ciri-ciri yang diberikan oleh Taleb tadi, terdapat logika black swan yang menjadikan hal yang tidak kita ketahui jauh lebih relevan dibanding yang kita ketahui. Singkatnya logika black swan adalah tentang kondisi kita tidak tahu jika kita tidak tahu, yang dicontohkan dengan serangan teroris pada tanggal 11 September 2001, jatuhnya pasar saham di Wall Street tahun 1987 (black monday), bencana tsunami Aceh, dan Perang Dunia II.
Bagaimana Kita Belajar dari Kalkun?
Lantas penggambaran tadi memunculkan pertanyaan “Bagaimana kita tahu tentang ketidaktahuan kita atas hal yang kita tidak tahu tadi (black swan)?”, mengingat memang adanya keterbatasan akal manusia. Yang menjadi kunci adalah dengan kemampuan kita untuk bisa mengenal logika black swan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Dalam bukunya Taleb memberikan sejumlah contoh black swan, namun saya melihat pembahasan pada Bagian I — Bab IV, yaitu mengenai ilustrasi soal kalkun. Berkaca dari seekor kalkun yang diberi makan oleh pemiliknya setiap hari. Si unggas lalu menjadi memiliki pemikiran, pada setiap harinya ia diberi makan berarti pemiliknya (manusia) adalah penggambaran sosok yang baik, ramah, dan menjadi sebuah norma yang umum untuk membahagiakan si pemiliknya yang baik itu.
Kemudian datanglah hari Thanksgiving, sesuatu yang tak terduga bagi si kalkun selama masa hidupnya yang kurang lebih telah 1000 hari, pada hari ke-1001 ia disembelih oleh pemiliknya, dan dari sinilah terdapat koreksi ulang atas keyakinan si kalkun yang terdahulu mengenai gambaran manusia. Dalam ilustrasi di atas, bagi manusia mungkin memelihara kalkun untuk kemudian saat si unggas menginjak usia tertentu lalu kemudian disembelih memang bukan sebuah black swan, namun jika kita menempatkan diri sebagai si kalkun, hal yang terjadi pada dirinya adalah sebuah black swan.
Taleb mencoba mengajak kita untuk melangkah lebih jauh dengan mencermati aspek-aspek yang paling mengkhawatirkan, yaitu belajar dari masa lalu. Jika kita perhatikan mungkin pengalaman si kalkun tadi cenderung memiliki nilai yang negatif, namun ketimbang tidak memiliki nilai sama sekali fenomena ini perlu kita sadar relevan dengan kehidupan kita sehari-hari. Penggambaran 1000 hari yang bersejarah seketika berubah saat masuk ke hari 1001, dimana proses selama 1000 hari masa hidup si kalkun sama sekali tidak membuat dia dapat memprediksi apa yang terjadi di hari ke-1001. Model proyeksi naif tentang masa depan dari masa lalu inilah yang ingin coba Taleb jelaskan kepada pembacanya, namun bukan tentang untuk bersikap skeptis.
Dari sinilah Taleb ingin membagi pemikirannya kepada pembacanya, bahwa mengambil seluruh total resiko yang ada, alih-alih terdapat black swan yang kita tidak tahu kapan datang dalam setiap resiko yang akan kita ambil, kita bisa mengontrolnya. Namun “mengontrol black swan” dalam penggambaran Taleb, sama sekali bukan dalam rangka “meniadakan black swan”.
Kalau Kita Bukan “Ahli Nujum”, Lalu Kita Bisa Apa?
Memahami fenomena black swan sebagaimana telah coba diilustrasikan dalam pengalaman si kalkun tadi, lalu menjadi sebuah pertanyaan bagaimana kita yang bukan “ahli nujum” ini bisa berbuat sesuatu atas black swan yang mungkin bisa terjadi? Keterbatasan akal manusia berikut juga dengan segala bentuk bias pikir (dan bias kognitif) yang menciptakan ilusi dalam pikiran kita rupanya akan cukup menentukan bagaimana sebuah black swan dapat dikontrol dengan baik atau buruk.
Oleh sebab itu manusia idealnya dapat menyadari yang menjadi kekurangannya terutama saat belajar dari pengalaman/sejarah, Taleb menyebutnya sebagai “triplet of opacity” (tiga hal yang serba kabur), yang meliputi:
- ilusi pemahaman, yaitu tentang bagaimana setiap orang seringkali mengira kalau mereka tahu apa yang tengah terjadi di dunia yang lebih rumit daripada yang disadari;
- distorsi retrospektif, yaitu bagaimana kita dapat menilai masalah hanya sesudah tersedianya fakta; dan
- valuasi berlebihan, utamanya terhadap informasi yang faktual dan hambatan yang dialami oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan dan kalangan terpelajar lebih-lebih saat mereka mencoba seolah-olah menjadi Plato.
Dengan menyadari kekurangan di atas, kemudian Taleb melanjutkan dengan menuliskan trik-trik sederhana tentang bagaimana kita bisa beradaptasi black swan, yaitu:
- Pertama, dengan membedakan antara keadaan yang diliputi dengan ketidakpastian kemungkinan tadi (kontigensi) yang positif dan negatif. Jadi disini kita belajar untuk membedakan mana hal yang bisa dan tidak bisa diramalkan;
- Kedua, jangan mencari yang terlalu terpercinci di tempat yang terbatas, atau sederhanya berpikiran sempit dimana kadang kita sering terjebak dengan terlalu focus terhadap apa yang kita tahu dan mengacuhkan yang kita tidak tahu (cognitive tunneling);
- Ketiga, mencari kesempatan atau segala hal yang mirip dengan kesempatan. Nah dalam trik ini memang semacam butuh keberuntungan karena kita memerlukan tempat yang tepat untuk mendapatkannya;
- Keempat, hati-hati dengan rencana tepat Pemerintah, dimana kita lebih mengacuhkan “ramalan-ramalan” yang dibuat oleh para pemangku kewenangan. Jadi jangan terlalu serius menggapi apa yang mereka ungkapkan, karena terkadang ungkapan itu hanya untuk menjaga eksistensi mereka; dan
- Kelima, memang ada sebagian orang yang “jika mereka belum tahu, tidak dapat kita beritahu”. Jadi jangan terlalu membuang waktu untuk melawan “si ahli nujum”.
Singkatnya, rangkaian pembahasan dalam buku ini ingin mengajak pembacanya untuk lebih menyadari tentang keterbatasan akal pikirnya mengenai segala sesuatu. Alih-alih menjadi sama seperti seekor kalkun yang digambarkan Taleb, kita bisa mengontrol black swan yang mungkin muncul dalam kehidupan kita. Jadi daripada menjadi seorang “ahli nujum”, menjadi seseorang yang sadar dengan keterbatasan pengetahuannya atas fenomena acak adalah bijak. Hanya saja bukan berarti kita harus skeptis, justru mengenali black swan menjadikan kita lebih hati-hati misalnya “jangan terlalu all-in saat berinvestasi di pasar saham”.
Disclaimer
Segala informasi yang kami sampaikan di artikel ini diterbitkan dengan tujuan baik dan hanya untuk tujuan informasi secara umum.
Kami berusaha memberikan info yang seakurat dan selengkap mungkin. Namun, tak ada gading yang tak retak. Kami tidak memberikan jaminan apapun mengenai kelengkapan, kebenaran, dan keakuratan informasi yang kami publikasikan di sini.
Setiap tindakan yang Anda lakukan setelah membaca artikel di Medium - Ratio Legis ID adalah tanggung jawab Anda sendiri. Kami tidak bertanggung jawab terhadap kerugian atau kerusakan (mungkin) terjadi.
Dari artikel ini, kemungkinan Anda bisa mengunjungi web lain dengan meng-klik tautan yang ada di sini. Meskipun kami telah berupaya menjaga link-link yang keluar dari blog ini adalah tautan yang berkualitas, kami tidak memiliki kontrol terhadap konten web-web tersebut. Pemilik web dan kontennya bisa saja berubah di kemudian hari, sebelum kami mengetahuinya dan menghapus link tersebut di artikel ini.
Perlu diperhatikan juga. Ketika Anda mengunjungi web lain yang url-nya tertaut di Medium - Ratio Legis ID, bisa saja web tersebut memiliki kebijakan layanan yang berbeda dengan kami.
Anda memiliki kewajiban untuk memahami “Terms of Service” web-web tersebut sebelum melakukan transaksi atau interaksi apapun di sana.